Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullaah menjawab, “Shalat wanita sambil menggendong anaknya tidak apa-apa bila anaknya dalam keadaan suci dan memang butuh digendong karena mungkin anaknya menangis dan bisa menyibukkan si ibu apabila tidak menggendongnya.
Telah pasti kabar yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan beliau pernah shalat sambil menggendong cucu beliau Umamah bintu Zainab bintu Rasulullah. Ketika itu Rasulullah shalat mengimami orang-orang dalam keadaan Umamah dalam gendongan beliau. Bila berdiri, beliau menggendong Umamah dan di saat sujud beliau meletakkannya. Apabila seorang ibu melakukan hal tersebut maka tidak apa-apa, tetapi yang lebih utama tidak melakukannya melainkan jika ada kebutuhan.” (Nurun ‘alad Darb, hlm. 17)
(Sumber : http://asysyariah.com/shalat-menggendong-anak.html)
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullaah menjawab, “Shalat wanita sambil menggendong anaknya tidak apa-apa bila anaknya dalam keadaan suci dan memang butuh digendong karena mungkin anaknya menangis dan bisa menyibukkan si ibu apabila tidak menggendongnya.
Telah pasti kabar yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan beliau pernah shalat sambil menggendong cucu beliau Umamah bintu Zainab bintu Rasulullah. Ketika itu Rasulullah shalat mengimami orang-orang dalam keadaan Umamah dalam gendongan beliau. Bila berdiri, beliau menggendong Umamah dan di saat sujud beliau meletakkannya. Apabila seorang ibu melakukan hal tersebut maka tidak apa-apa, tetapi yang lebih utama tidak melakukannya melainkan jika ada kebutuhan.” (Nurun ‘alad Darb, hlm. 17)
(Sumber : http://asysyariah.com/shalat-menggendong-anak.html)
Pertanyaan: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sambil
menggendong Umamah sebagaimana di dalam Ash Shahih, apakah hal ini secara
mutlak atau disyaratkan hendaknya anak itu suci dari kotoran?
Jawaban:
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dalam keadaan menggendong Umamah. Ini merupakan bentuk kasih sayang terhadap anak-anak dan bayi-bayi. Karena apabila mereka menangis sementara seseorang sedang shalat. Terkadang tangisan mereka menyibukkan dia dari shalatnya. Allah ta’ala berfirman,
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dalam keadaan menggendong Umamah. Ini merupakan bentuk kasih sayang terhadap anak-anak dan bayi-bayi. Karena apabila mereka menangis sementara seseorang sedang shalat. Terkadang tangisan mereka menyibukkan dia dari shalatnya. Allah ta’ala berfirman,
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya.” (Al Ahzab: 4)
Demikian pula seorang ibu terkadang tersibukkan dari shalatnya.
Namun bilamana dia menggendong anaknya sebagaimana yang diperbuat oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu apabila dia ruku’ maka dia letakkan
anaknya. Dan apabila dia bangkit lalu dia menggendongnya. Maka anak itu menjadi
tenang dari tangisannya, sehingga orang yang menjaganya menjadi khusyu’ dalam
shalatnya. Dan dia menjadi perhatian terhadap anak tersebut karena rasa kasih
sayang kepadanya.
Adapun perkara yang berkaitan dengan syarat suatu kesucian. Bila
dia bisa terhindar dari kotorannya, maka tidak mengapa yang demikian. Namun
apabila terdapat kotoran padanya, semisal air kencing atau selainnya, maka
tidak boleh. Dan kisah Umamah dikemungkinkan bahwa dia dalam keadaan bersih
dari najis kencing atau tahi, sebagaimana yang telah disebutkan oleh para ulama
rahimahumullah.
(Sumber: Anak Amanah Ilahi karya Asy Syaikh Yahya bin Ali Al
Hajuri (penerjemah: Abu Abdurrahman Abdul Aziz As Salafy dan Ummu Abdurrahman),
penerbit: Penerbit Al-Husna bekerja sama dengan Al Fath Media, hal. 88-89.)
Bolehkan Membawa Anak Kecil Ke Masjid?
Anak, menurut definisi para ulama fikih adalah orang yang belum
mencapai usia baligh. (al-Asybah wan Nadhair, as-Suyuthi, hal. 387)
Pertama, Anak yang sudah mencapai usia tamyiz
Jika anak sudah mencapai usia tamyiz, disyariatkan bagi walinya
utk memerintahkan anak agar datang ke masjid. Karena orang tua diperintahkan
utk menyuruh anaknya agar melakukan shalat setelah menginjak usia tamyiz.
Berdasarkan hadis dari Sabrah radliallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Perintahkanlah anak utk shalat jika sudah mencapai usia 7 tahun, & jika sudah berusia 10 tahun, pukullah mereka (jika tak mau diperintah) agar shalat melaksanakan shalat” (HR. Abu Daud, Turmudzi & dinilai shahih al-Albani)
“Perintahkanlah anak utk shalat jika sudah mencapai usia 7 tahun, & jika sudah berusia 10 tahun, pukullah mereka (jika tak mau diperintah) agar shalat melaksanakan shalat” (HR. Abu Daud, Turmudzi & dinilai shahih al-Albani)
Hadis ini menunjukkan dua hal penting:
a. Bahwa wali (pengurus) anak kacil yang sudah tamyiz, baik bapaknya, kakeknya, kakaknya, atau orang yang mendapat wasiat utk mengurusinya, mereka mendapatkan tugas dari syariat utk memerintahkan anak kecil agar melaksanakan shalat, & mengajarkan tata cara shalat yang sah, seperti syarat & rukun shalat. Ini berlaku, baik utk anak laki-laki maupun perempuan.
a. Bahwa wali (pengurus) anak kacil yang sudah tamyiz, baik bapaknya, kakeknya, kakaknya, atau orang yang mendapat wasiat utk mengurusinya, mereka mendapatkan tugas dari syariat utk memerintahkan anak kecil agar melaksanakan shalat, & mengajarkan tata cara shalat yang sah, seperti syarat & rukun shalat. Ini berlaku, baik utk anak laki-laki maupun perempuan.
b. Hadis ini menunjukkan diziinkannya seorang anak utk masuk
masjid. Karena masjid merupakan tempat pelaksanaan shalat. Si pengurus anak,
hendaknya membiasakan anak tersebut utk sering ke masjid, menghadiri shalat
jamaah, agar menimbulkan rasa cinta pada ibadah & ketergantungan hati pada
masjid.
Kedua, anak yang belum tamyiz
Ada banyak hadis yang menunjukkan bolehnya mengajak anak yang
belum tamyiz ke masjid. Diantara dalil tersebut adalah
1. Hadis dari Abu Qotadah al-Anshari mengatakan
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, putri dari Abul ‘Ash bin Rabi’ah. Apabila beliau sujud, beliau letakkan Umamah & jika beliau berdiri, beliau menggendongnya.”
1. Hadis dari Abu Qotadah al-Anshari mengatakan
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, putri dari Abul ‘Ash bin Rabi’ah. Apabila beliau sujud, beliau letakkan Umamah & jika beliau berdiri, beliau menggendongnya.”
Dalam lafadz yang lain: “Saya melihat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengimami jamaah, sementara Umamah binti Abil ‘Ash (cucu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam) berada di gendongan beliau” (HR. Bukhari &
Muslim)
Hadis ini memberikan 2 pelajaran penting
a. Bolehnya membawa bayi ke masjid, & boleh menggendongnya ketika shalat, meskipun itu adalah shalat wajib. Karena ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggendong Umamah, beliau mengimami para sahabat.
a. Bolehnya membawa bayi ke masjid, & boleh menggendongnya ketika shalat, meskipun itu adalah shalat wajib. Karena ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggendong Umamah, beliau mengimami para sahabat.
b. Pakaian bayi & badannya itu suci, selama tak diketahui
adanya najis. Anggapan bahwa orang yang hendak shalat tak boleh menyentuh atau
menggendong bayi, karena dimungkinkan ada najis di pakaiannya adalah anggapan
yang tak berdasar. Prinsip “ada kemungkinan” hanyalah sebatas keraguan yang tak
meyakinkan.
2. Hadis dari A’isyah radliallahu ‘anha, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya, hingga Umar datang
memanggil beliau:
نَامَ النِّسَاءُ
وَالصِّبْيَانُ
Wahai Rasulullah, para wanita & anak-anak telah tidur. (HR.
Bukhari)
Ada dua kesimpulan penting dari hadis ini:
a. Bolehnya mengajak anak ke masjid & mengikuti shalat jamaah. Sebagaimana wanita juga boleh datang menghadiri jamaah. Terutama di waktu malam yang gelap, seperti shalat isya. Karena maksud pemberitaan Umar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa wanita & anak-anak yang menunggu jamaah shalat isya di masjid, telah tertidur. Inilah yang sesuai dgn makna teksnya. Tidak sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa mereka tidur di rumah. Ini adalah anggapan yang tak benar. Karena jika mereka tidur di rumah maka itu sudah menjadi hal biasa, sehingga tak perlu orang semacam Umar radliallahu ‘anhu mengingatkan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
a. Bolehnya mengajak anak ke masjid & mengikuti shalat jamaah. Sebagaimana wanita juga boleh datang menghadiri jamaah. Terutama di waktu malam yang gelap, seperti shalat isya. Karena maksud pemberitaan Umar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa wanita & anak-anak yang menunggu jamaah shalat isya di masjid, telah tertidur. Inilah yang sesuai dgn makna teksnya. Tidak sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa mereka tidur di rumah. Ini adalah anggapan yang tak benar. Karena jika mereka tidur di rumah maka itu sudah menjadi hal biasa, sehingga tak perlu orang semacam Umar radliallahu ‘anhu mengingatkan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diantara ulama yang memahami bahwa tidurnya wanita &
anak-anak ini di masjid adalah Imam al-Bukhari. Hadis ini, beliau letakkan di
bawah judul bab: tentang wudhunya anak kecil,… & keterlibatan mereka dlm
shalat jamaah, hari raya, shalat jenazah, & shaf mereka. Ini menunjukkan
bahwa Al Bukhari memahami dari hadis ini, anak-anak tersebut hadir di masjid.
b. Lafadz ‘shibyan’ pada hadis di atas, bentuknya jamak
definitif (ada alif lam), sehingga mencakup umum, semua anak, baik besar maupun
kecil.
Catatan:
Pertama, tak boleh memindah anak kecil yang sudah menempati shaf
Jika ada anak kecil yang menempati shaf pertama, atau di belakang imam maka tak boleh dipindah, terutama jika sudah tamyiz. Ini merupakan pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama. Diantara alasan yang menguatkan hal ini adalah
Jika ada anak kecil yang menempati shaf pertama, atau di belakang imam maka tak boleh dipindah, terutama jika sudah tamyiz. Ini merupakan pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama. Diantara alasan yang menguatkan hal ini adalah
a. Hadis dari Ibn Umar radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menyuruh pindah saudaranya yang duduk di tempat tertentu, kemudian dia menduduki tempat tersebut. (HR. Bukhari & Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menyuruh pindah saudaranya yang duduk di tempat tertentu, kemudian dia menduduki tempat tersebut. (HR. Bukhari & Muslim)
Hadis ini merupakan larangan tegas utk menyuruh orang pindah
dari tempatnya, kemudian dia menduduki tempat tersebut. Dan anak yang sudah
tamyiz masuk dlm hukum ini.
Al-Qurthubi mengatakan:
Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam utk menyuruh orang lain pindah dari tempat duduknya, karena orang yang lebih dahulu menempati tempat tertentu, dia memiliki hak utk duduk di tempat tersebut, sampai dia sendiri ingin pindah tanpa dipaksa setelah tujuannya selesai. Seolah-olah dia memiliki hak utk memanfaatkan posisi tersebut, sehingga orang lain tak boleh menghalangi dirinya utk mendapatkan apa yang dia miliki. (al-Mufhim, 5/509)
Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam utk menyuruh orang lain pindah dari tempat duduknya, karena orang yang lebih dahulu menempati tempat tertentu, dia memiliki hak utk duduk di tempat tersebut, sampai dia sendiri ingin pindah tanpa dipaksa setelah tujuannya selesai. Seolah-olah dia memiliki hak utk memanfaatkan posisi tersebut, sehingga orang lain tak boleh menghalangi dirinya utk mendapatkan apa yang dia miliki. (al-Mufhim, 5/509)
b. Mengizinkan mereka utk tetap berada di shaf akan memberikan
motivasi kepada mereka utk tetap shalat & datang ke masjid.
Berbeda dgn anggapan sebagian orang bahwa anak kecil harus
berada di belakang shaf orang dewasa. Anggapan semacam ini tak sesuai denan
kebiasaan para sahabat. Karena andaikan penataan shaf anak kecil harus selalu
di belakang shaf orang dewasa, tentunya akan dinukil banyak riwayat dari
sahabat & menjadi satu hal yang dikenal banyak orang, sebagaimana posisi
shaf wanita yang selalu di belakang. (Hasyiyah Ibn Qosim utk ar-Raudhul Murbi’,
2/341)
Adapun, adanya beberapa riwayat dari sebagian sahabat yang
memposisikan anak kecil di belakang maka dipahami dgn dua kemungkinan, pertama,
itu merupakan pendapat pribadi beliau, atau kedua, karena anak itu tak paham
shalat yang baik, sehingga bergurau ketika shalat. (al-I’lam bi Fawaid Umdatil
Ahkam karya Ibnul Mulaqin, 2/533)
Bagaimana dgn hadis dari Ibn Mas’ud radliallahu ‘anhu, dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
“Hendaknya orang yang berada di belakangku adalah orang dewasa yang berakal, kemudian orang tingkatan berikutnya, kemudian berikutnya.” (HR. Muslim)
“Hendaknya orang yang berada di belakangku adalah orang dewasa yang berakal, kemudian orang tingkatan berikutnya, kemudian berikutnya.” (HR. Muslim)
Hadis ini tidaklah melarang utk menempati shaf pertama &
memposisikan mereka di shaf belakang. Hadis hanya menganjurkan agar para ‘ulul
ahlam wan nuha‘ yaitu orang yang lebih pandai (dalam agama) utk menempati shaf
awal, berada di belakang imam. Sehingga bisa mengingatkan imam ketika lupa atau
menggantikan posisi jika dia batal. Andaikan maksud hadis adalah melarang anak
kecil utk berada di depan, seharusnya lafadzkan: “Tidak boleh berada di
belakangku kecuali ….” (as-Syarhul Mumthi’, 3/10)
Kedua, hadis dhaif yang melarang anak ke masjid
Sebagian orang yang berpendapat bahwa anak-anak tak boleh masuk
masjid, berdalil dgn hadis:
“Jauhkanlah masjid kalian dari anak kalian”
“Jauhkanlah masjid kalian dari anak kalian”
Hadis ini diriwayatkan Ibn Majah & at-Thabrani dlm Mu’jam
al-Kabir dari jalur al-Harits bin Nabhan, dari Utbah bin Abi Said, dari Makhul,
dari Watsilah bin al-Asqa’ radliallahu ‘anhu. Perawi yang bernama Harits
statusnya sangat lemah. Berikut keterangan ulama tentang perowi ini:
Al-Bukhari mengatakan: “Munkarul hadis.”
Nasa’i & Abu Hatim menilai orang ini dengan: “Matruk (ditinggalkan).”
Ibnu Main memberikan komentar utk orang ini dgn mengatakan: “Laisa bi Syai’in” terkadang, beliau menyatakan: “Hadisnya tak ditulis.”
Al-Bukhari mengatakan: “Munkarul hadis.”
Nasa’i & Abu Hatim menilai orang ini dengan: “Matruk (ditinggalkan).”
Ibnu Main memberikan komentar utk orang ini dgn mengatakan: “Laisa bi Syai’in” terkadang, beliau menyatakan: “Hadisnya tak ditulis.”
Demikian beberapa keterangan yang disampaikan ad-Dzahabi dlm
al-Mizan (1/444). Hadis ini memiliki beberapa jalur lain, namun tak ada satupun
yang shahih. Keterangan selengkapnya ada di Nashbur Rayah (2/491).
Ketiga, dibolehkan membuat shaf dgn anak kecil
Seseorang tak boleh shalat sendirian di belakang shaf, sementara masih memungkinkan baginya utk menempatkan diri pada barisan di depannya. Ini berdasarkan hadis dari Wabishah radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada seseorang yang shalat di belakang shaf sendirian. Kemudian beliau memerintahkan agar mengulangi shalatnya. (HR. Abu Daud & dinilai shahih al-Albani)
Seseorang tak boleh shalat sendirian di belakang shaf, sementara masih memungkinkan baginya utk menempatkan diri pada barisan di depannya. Ini berdasarkan hadis dari Wabishah radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada seseorang yang shalat di belakang shaf sendirian. Kemudian beliau memerintahkan agar mengulangi shalatnya. (HR. Abu Daud & dinilai shahih al-Albani)
Bagaimana jika membuat shaf bersama anak kecil, apakah sudah
bisa dinyatakan telah keluar dari larangan hadis Wabishah di atas?
Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Akan tetapi pendapat
yang kuat, dibolehkan utk membuat shaf dgn anak kecil. Ini merupakan pendapat
mayoritas ulama. Diantara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis dari Anas
bin Malik radliallahu ‘anhu, beliau menceritakan:
Neneknya, Mulaikah radliallahu ‘anha, pernah mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam utk makan di rumahnya. Setelah selesai makan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersiaplah, mari saya imami kalian utk shalat berjamaah.” Anas mengatakan: Kemudian aku siapkan tikar milik kami yang sudah hitam karena sudah usang, & aku perciki dgn air. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat & ada anak yatim bersamaku (dalam satu shaf), & wanita tua di belakang kami. Beliau mengimami shalat dua rakaat. (HR. Bukhari & Muslim)
Neneknya, Mulaikah radliallahu ‘anha, pernah mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam utk makan di rumahnya. Setelah selesai makan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersiaplah, mari saya imami kalian utk shalat berjamaah.” Anas mengatakan: Kemudian aku siapkan tikar milik kami yang sudah hitam karena sudah usang, & aku perciki dgn air. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat & ada anak yatim bersamaku (dalam satu shaf), & wanita tua di belakang kami. Beliau mengimami shalat dua rakaat. (HR. Bukhari & Muslim)
Hadis ini dalil bolehnya orang yang sudah baligh membuat shaf
dgn anak kecil. Karena Anas bin Malik radliallahu ‘anhu shalat di belakang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama seorang anak yatim. Sementara anak yatim
adalah anak yang ditinggal mati bapaknya & dia belum baligh.
Allahu a’lam
Allahu a’lam
(Penyusun: Ustadz Ammi
Nur Baits. Disarikan & disusun ulang dari risalah: Hudhurus Shibyan
al-Masajida, karya Dr. Abdullah bin Sholeh al-Fauzan hafidzahullah
(alfuzan.islamlight.net)
sumber: www.muslimah.or.id)
sumber: www.muslimah.or.id)
Diposting oleh Abu Fahd Negara Tauhid.
Sumber foto:
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=352661592364
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=322293681189042&set=a.193144724103939.48915.191620107589734&
0 komentar:
Post a Comment