Friday, August 10, 2012

NU menghadapi bahaya besar


  • NU (Nahdlatul Ulama) menghadapi bahaya besar. Karena ormas Islam terbesar di Indonesia ini telah diseret ke pemahaman kemusyrikan baru dengan nama bukan dari Islam yaitu apa yang mereka sebut pluralisme agama dan bahkan multikulturalisme.
  • Bila tidak diberantas tuntas oleh pihak NU sendiri maka NU akan menjadi wadah pemusyrikan baru sekaligus menghancurkan Tauhid dan amar ma’ruf nahimunkar, yang itu sejatinya adalah pekerjaan musuh Islam.
  • Apakah rela wahai sauadar-sauadar?
Inilah sorotannya, dan di bagian bawah ada berita yang mengingatkan masalah ini pula. Selamat menyimak.
***
NU Tersihir Pluralisme dan Multikulturalismenya Gus Dur
Oleh Hartono Ahmad Jaiz
Meninggalnya Gus Dur bukan hanya disusul dengan munculnya fitnah di antaranya orang-orang cari berkah ke kuburannya, mengada-adakan aneka bid’ah, do’a lintas agama dan sebagainya yang semuanya tidak sesuai dengan Islam; namun memunculkan pula gelar bapak pluralisme dan multi kulturalisme. Tidak tanggung-tanggung, gelar itu dari Presiden SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) walau sampai menjelang meninggalnya, Gus Dur sikapnya sangat keras terhadap Presiden itu.
Sebagaimana diberitakan Okezone (Senin, 19 Mei 2008 - 17:24 wib), Gus Dur pernah mengatakan: “Saya sudah tidak mengakui SBY sebagai Presiden. Semakin banyaknya masalah yang melanda negeri ini adalah bukti ketidakberesan pemerintah dalam memimpin negeri ini.”
Pernyataan tersebut dilontarkan Gus Dur dalam sambutan di acara Munas Alim Ulama, yang berlangsung di Hotel Kartika Chandra, Jalan Gatot Subroto,Jakarta, Senin, 19 Mei 2008. (http://news.okezone.com/read/2008/05/19/1/110686/gus-dur-sudah-tak-akui-sby-sebagai-presiden)
Bahkan menjelang ajalnya Gus Dur sempat memberikan wasiat kepada 30 tokoh dalam pertemuan tanggal 4 Desember 2009 di kediaman Soetardjo Soeryoguritno (mantan Ketua MPR) di Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta. Isi pesannya: turunkan SBY dan gantikan dengan pemerintahan baru. Wasiat itu disampaikan oleh Sri Bintang Pamungkas dan Ridwan Saidi pada sebuah diskusi yang berlangsung di markas Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera), jalan Diponegoro 58 (eks kantor PDI), Menteng, Jakarta Pusat, pada hari Ahad tangal 3 januari 2010. (nahimunkar.com, January 7, 2010 2:18 am)
Gelar bapak pluralisme dan multikulturalisme itu walaupun yang mengucapkan presiden namun istilah itu sendiri mengandung makna menyamakan semua agama. Bahkan multikulturalisme itu sendiri lebih dahsyat lagi, semua kultur di dunia ini berkedudukan sama, tidak boleh ada kultur yang dipandang paling benar. Sedangkan Islam hanya dipandang sebagai bagian dari kultur, maka ketika Islam menyatakan hanya Islam lah yang benar, maka dianggap sebagai sumber konflik. Jadi bagaimanapun, istilah pluralisme, walaupun tidak disebut pluralisme agama, ketika disandingkan dengan multikulturalisme maka sudah jelas maknanya, yakni faham yang telah diharamkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) tahun 2005, dan Ummat Islam dilarang mengikutinya.
Lebih jelasnya, faham multikulturalisme Gus Dur itu seperti apa, inilah tulisan seorang ketua PBNU:
Gagasan Gus Dur tentang multikulturalisme adalah keinginannya agar kemajemukan yang terdapat dalam berbagai kelompok sosial dipahami sebagai khazanah kekayaan bangsa. Setiap pribadi berhak melakukan pilihan terhadap agama dan tradisi budayanya oleh karena itu baik negara maupun masyarakat harus menghargai serta menghormatinya.
Lebih dari itu, negara hendaklah memberikan pelayanan yang sama terhadap semua warga negaranya tanpa kecuali. Demikian juga tradisi budaya yang ada dalam setiap kelompok sosial hendaklah dipahami sebagai nilai-nilai kehidupan dunia (world life). Negara memiliki jarak yang sama terhadap setiap warganya.
Oleh karena itu multikulturalisme dalam pandangan Gus Dur adalah bahwa keragaman bukan saja diakui akan tetapi harus diberikan kebebasan karena dengan keragaman maka akan saling melengkapi satu dengan yang lain. Sekarang, keragaman identitas menjadi persoalan yang serius dalam perjalanan bangsa Indonesia.
M RIDWAN LUBIS, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua PB NU,Multikulturalisme , waspada.co.id, Wednesday, 06 January 2010 06:02 )
Mari kita simak kembali gagasan Gus Dur tentang multikulturalisme:
Setiap pribadi berhak melakukan pilihan terhadap agama dan tradisi budayanya oleh karena itu baik negara maupun masyarakat harus menghargai serta menghormatinya.
Ungkapan itu menunjukkan, semuanya serba boleh, asal itu namanya agama dan tradisi budaya, maka Negara maupun masyarakat harus menghargai serta menghormatinya. Ini jelas ajaran syetan melek-melekan. Kalau zina sudah diaku oleh orang sebagai tradisi budayanya maka Negara maupun masyarakat harus menghargai serta menghormatinya. Ini tidak lain hanya akan menjerumuskan manusia ke jurang hawa nafsu yang sangat dalam dan menjadi rekanan syetan serta musuh Allah Ta’ala. Karena di Indonesia ini betapa banyaknya tradisi budaya yang sangat bertentangan dengan Islam, dengan aneka kemusyrikannya, dosa yang tidak diampuni Allah Ta’ala, bila pelakunya sampai meninggal tidak bertaubat. Misalnya ruwatan (acara kemusyrikan untuk membuang sial agar tidak dimangsa Betoro Kolo), larung laut yakni melarung sesaji ke laut, mengadakan upacara sesaji ke gunung, menyembelih tumbal (untuk syetan) ke sungai, pohon, tempat-tempat tertentu dan sebagainya. Itu semua disebut tradisi budaya. Ketika Negara dan masyarakat harus menghargai serta menghormati, berarti Ummat Islam dilarang amar ma’ruf nahi munkar. Karena ketika mencegahnya berarti melawan multikulturalisme yang dikembangkan jenate (mendiang) Mbah Gus Dur.
Kalau seorang dosen di perguruan tinggi Islam terkemuka di Indonesia, dan sekaligus ketua satu organisasi namanya saja organisasi pakai ulama tetapi menjunjung dan menyebarkan faham busuk orang yang berfikiran kotor (karena melawan Islam) seperti itu, maka hancurlah orang-orang yang disesatkannya!
Astaghfirullahal ‘Adhiem.
NU Gusdurisme
Adanya gelar bapak pluralisme dan multikulturalisme untuk Gus Dur itu satu sisi tampaknya dibanggakan oleh orang yang mengekspose faham multikulturalismenya Gus Dur barusan, (sampai-sampai dia menulis opini diawali dengan kalimat: Wafatnya Abdurrahman “Gus Dur” Wahid beberapa hari yang lalu menyadarkan kita kembali betapa bermaknanya sosok beliau)tetapi bagi sebagian yang lainnya, gelar tersebut tampaknya menimbulkan semacam rasa risih. Maka muncullah pernyataan Hasyim Muzadi ketua umum PBNU secara miring-miring bahwa konsep pluralisme di NU bukan pluralisme teologis “tahu campur” namun pluralisme sosiologis.
Muncul pula pernyataan seorang Kiyai dari Jember Jawa Timur bahwa Gus Dur tidak pernah terdengar pernyataannya bahwa dia menyamakan semua agama.
Pernyataan petinggi NU dan Kiyai NU itu tampaknya membela NU dan sekaligus membela Gus Dur. Namun justru memperlihatkan, ketika mereka membela Gus Dur seperti itu, maka sejatinya NU secara disadari atau tidak adalah sudah berfaham Gusdurisme, yakni menyamakan semua agama, pluralisme agama dan multikulturalisme.
Di samping itu, sekalipun Hasyim Muzadi menegas-negaskan bahwa konsep pluralisme di NU adalah pluralisme sosiologis, bukan teologis, namun tidak ada bukti yang nyata. Cara bersikap NU dalam berhubungan dengan golongan lain secara sosiologis, ternyata sering-sering NU lebih dekat dengan orang-orang kafir daripada orang Muslim yang menegakkan Sunnah dan memberantas bid’ah. Dari lembaga resmi di bawah NU seringkali disaksikan oleh masyarakat bahwa mereka rajin menjaga gereja-gereja di hari-hari raya orang kafir, sementara wala’ (kecintaan) terhadap sesama Muslim apalagi yang menegakkan Sunnah dan memberantas bid’ah maka jauh dari tuntutan Islam. Lantas, pluralisme sosiologis NU itu apakah artinya asyiddaa’u ‘ala ba’dhil mu’minin wa ruhamaau bainahum wa bainahum? Bersikap keras terhadap sebagian orang mu’min (terutama yang menegakkan Sunnah bahkan mau menerapkan syari’ah) dan berkasih sayang antara mereka dan mereka (di luar Islam)?
Lisaanul hal afshohu min lisaanil maqol, kenyataan yang ada lebih jelas daripada perkataan yang diucapkan. Padahal tuntunan dalam Al-Qur’an menyebutkan:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (QS Al-Fath/ 48: 29)
Dari bukti itu, pluralisme sosiologis ala NU pun tetap condong kepada pihak gereja daripada kepada mu’minin yang menegakkan Sunnah memberantas bid’ah. Sehingga, pada hakekatnya justru Hasyim Muzadi menambahi penjelasan kepada masyarakat, sebenarnya NU itu pluralismenya seperti apa, di samping pluralisme yang sudah dipelopori oleh Gus Dur, yang bukti-buktinya akan kita baca berikut ini.
Mari kita simak bukti-bukti bahwa Gus Dur memang benar-benar pluralis dalam arti sebagaimana istilah itu sendiri yang bermakna menyamakan semua agama, hanya beda teknis; apalagi ketika disandingkan dengan istilah multikulturalisme.
Inilah pluralismenya Gus Dur
Inilah pluralismenya Gus Dur yang menyiarkan bahwa taqwa itu tidak pandang agama, “Tidak peduli muslim atau bukan.”
Pernyataan Gus Dur itu dia pidatokan, dan dimuat di situs lembaga dia, The Wahid Institute.
Padahal taqwa itu menurut Umar bin Khathab adalah taqwa (menjaga diri) dari kemusyrikan.
Jadi otomatis orang musyrik sama sekali tidak bertaqwa. Tetapi menurut Gus Dur, tidak peduli muslim atau bukan.
Betapa jauhnya antara pemahaman Gus Dur dengan pemahaman Umar bin Khatab.
Inilah teks berita pidato Gus Dur:
Selasa, 29 Januari 2008 05:01
Islam dan Umat Agama Lain
“Ketakwaan Bukan Monopoli Islam”
Presiden Republik Indonesia ke-4 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan, ketakwaan bukanlah ukuran spesifik dalam Islam. Ketakwaan juga dimiliki orang nonmuslim, baik Yahudi, Nasrani maupun yang lain. Ini, katanya, berdasarkan firman Allah Swt: Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah Swt ialah orang yang paling bertakwa. (Qs. al- Hujurat: 13).
“Berdasarkan ayat ini, takwa itu bukan monopoli orang Islam saja.”
Demikian dikatakan mantan ketua PBNU itu saat menjadi narasumber pada Workshop Islam dan Pluralisme V bertema Islam dan Umat Agama Lain di Kantor The WAHID Institute Jl. Taman Amir Hamzah No. 8 Matraman Jakarta, Jum’at (18/01/2008) malam. Hadir juga sebagai narasumber Ketua PCNU Kota Bandung KH. Maftuh Kholil. Dan tampak Direktur the WAHID Institute Yenny Wahid. Sedang peserta forum tersebut adalah pendeta, calon pendeta dan aktivis sosial Kristen.
Takwa atau ketakwaan, kata Gus Dur, itu bermakna takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang betul-betul takut pada Tuhan, imbuhnya, dia telah bertakwa. “Tidak peduli muslim atau bukan,” ujarnya. “Tolong ini dipikirkan lebih jauh lagi. Saya nggak ada waktu lagi untuk semua ini,” imbuhnya disambut tawa.
Komentar kami: Coba bandingkan dengan penjelasan ahli tafsir, bahwa taqwa itu dalam ayat

إن أكرمكم عند الله أتقاكم

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah Swt ialah orang yang paling bertakwa. (Qs. al- Hujurat: 13).
Artinya bahwa Allah Ta’ala lebih tahu kepadamu dengan tingkatan-tingkatanmu dalam iman.[1]
Sedangkan menurut Umar bin Khatab, orang yang paling taqwa (menjaga diri) adalah orang yang paling taqwa (menjaga diri) terhadap kesyirikan.[2]
Yang ulama tafsir merujuk kepada Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, taqwa itu menjaga diri dari kemusyrikan, sedang faham yang disebarkan Gus Dur, taqwa itu “Tidak peduli muslim atau bukan”.
Masa sih orang musyrik bertaqwa, wahai para pendukung Gus Dur?
Mari kita bandingkan, taqwa menurut Gus Dur dengan sifat orang yang bertaqwa menurut Al-Qur’an.
Takwa atau ketakwaan, kata Gus Dur, itu bermakna takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang betul-betul takut pada Tuhan, imbuhnya, dia telah bertakwa. “Tidak peduli muslim atau bukan,” ujarnya.
Pernyataan Gus Dur itu sangat melawan ayat al-Qur’an yang mensifati orang yang bertaqwa dalam awal-awal Surat Al-Baqarah:

الم (1) ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5)  [البقرة/1-5]

Alif Laam Miim.
Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,
dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.(QS Al-Baqarah: 1-5).
Dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya terbitan Departemen Agama RI ada penjelasan, di antaranya:
  • Takwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja.
  • Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu.
  • Yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh pancaindera. percaya kepada yang ghaib yaitu, mengi’tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya.
  • Shalat menurut bahasa ‘Arab: doa. menurut istilah syara’ ialah ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah. mendirikan shalat ialah menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusu’, memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya.
Mari kita tes: Apakah agama apa saja selain Islam ada yang berimannya sesuai dengan Al-Qur’an?
Apakah agama selain Islam keimanannya terhadap hal ghaib sesuai dengan suruhan Al-Qur’an.
Apakah agama selain Islam, shalatnya sesuai dengan yang dijelaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti yang didefinisikan tersebut di atas?
Apakah selain Islam ada yang beriman kepada Al-Qur’an?
Al-Qur’an pun menjawab:

فَإِنْ آَمَنُوا بِمِثْلِ مَا آَمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (137)

Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS Al-Baqarah: 137)

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (115) إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا (116)

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.(QS An-Nisaa’: 115, 116).
Jelaslah, pendapat Gus Dur tersebut sangat bertentangan dengan Al-Qur’an.
Di samping menganggap taqwa itu tak peduli muslim atau non muslim, masih pula Gus Dur mendirikan pesantren multi agama Soko Tunggal di Mijen,Semarang, Jawa Tengah.
Masih ragukah wahai para pendukung Gus Dur bahwa itu semua bertentangan dengan Islam bahkan pemurtadan model baru?
Masih ragukah bahwa sejatinya yang terjadi adalah pembusukan besar-besaran di NU bahkan di Ummat Islam dan di perguruan tinggi Islam se-Indonesia dengan adanya faham pluralisme agama yang diharamkan oleh MUI itu sekarang digembar-gemborkan dan disuntikkan kepada Ummat Islam lewat lembaga-lembaga pendidikan Islam negeri dan swasta, bahkan ormas-ormas Islam wabil khusus NU?
Departemen Agama, UIN, IAIN, STAIN, STAIS dan semacamnya serta NU dan lainnya sekarang sudah jadi ajang pembusukan Islam oleh mereka-mereka yang menjajakan pluralisme agama dan multikulturalisme secara sistematis dan dikomandoi oleh petinggi negeri ini. Sadarlah wahai saudara-saudaraku…
Maka tidak mengherankan, orang sudah mati pun kalau mereka menyebarkan kesesatan kepada Ummat Islam maka diberi hadiah secara resmi. Contohnya, baru-baru ini Harun Nasution yang ketika hidupnya menyebarkan faham sesatnya, tidak percaya bahwa taqdir itu termasuk dalam rukun Iman, dan Nurcholish Madjid yang menyebarkan faham sesatnya bahwa Iblis kelak masuk surga dan surganya tertinggi, maka mereka ini diberi hadiah oleh UIN Jakarta dan dihadiri serta disambut oleh Menteri Agama Surya Dharma Ali yang konon memang alumni UIN Jakarta. Ini sebagai bukti tambahan saja tentang pembusukan Islam di Indonesia secara sistematis dan bahkan dibiayai dengan duit dari Ummat Islam pula.
Ya Allah, saksikanlah, bahwa ini semua telah kami sampaikan… ya Allah… ampunilah hamba-Mu yang lemah ini, dan tunjukilah kami bahwa yang benar itu benar agar kami mampu mengikutinya, dan tunjukilah kami yang batil itu batil sehingga kami mampu menghindarinya. Amien ya Rabbal ‘alamien.

[1] Inilah teksnya;

تفسير أبي السعود – (ج 2 / ص 167)

إن أكرمكم عند الله أتقاكم والمعنى أنه تعالى اعلم منكم بمراتبكم في الإيمان الذى به تنتظم احوال العباد وعليه يدور فلك المصالح في المعاش والمعاد ولا تعلق لهبخصوص الحرية والرق فرب امة يفوق إيمانها إيمان الحرائر

[2] Ini teksnya:

فتح القدير – (ج 7 / ص 23)

وأخرج ابن مردويه عن عمر بن الخطاب أن هذه الآية : { يأَيُّهَا الناس إِنَّا خلقناكم مّن ذَكَرٍ وأنثى هي مكية ، وهي للعرب خاصة الموالي ، أي : قبيلة لهم ، وأي شعاب ، وقوله : { إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عَندَ الله أتقاكم } فقال : أتقاكم للشرك

***
MUI Jawa Timur Luruskan Pemikiran Liberal Anak Muda NU
Senin, 30 Jul 2012
SURABAYA (VoA-Islam)– Keprihatinan atas bahaya pemikiran sekularisme, pluralisme dan liberalisme, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur terdorong untuk meluncurkan buku berjudul “Menolak Liberalisme Islam: Catatan atas Berbagai Wacana dan Isu Kontemporer”.
Seperti dikabarkan InPas Online, pada 22 Mei tahun 2004 MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jawa Timur menyatakan sikap tegas, menolak dan mewaspadai penyebaran faham Islam Liberal. Setahun kemudian, MUI Pusat merespon. Pada Musyawarah Nasional (Munas) VII tahun 2005 MUI menerbitkan fatwa kesesatan faham Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (Sepilis).
Fatwa ini oleh kelompok Liberal direspon secara emosional. Bahkan mereka melakukan propaganda untuk menggoyang otoritas MUI. Di media massa mereka mengatakan bahwa MUI tidak toleran, menyulut tindak kekerasan atas nama agama. Bahkan eksistensinya dituduh produk Orde Baru. Tujuan besar mereka sebenarnya adalah kampanye  ideologi anti-otoritas, ideologi khas kaum liberal.
Buku “Menolak Liberalisme Islam: Catatan atas Berbagai Wacana dan Isu Kontemporer” mengemas kritikan terhadap ideologi liberal secara sederhana tapi sarat argumentasi naqli dan aqli, untuk mengklarifikasi tuduhan dan penodaan agama yang dilakukan kalangan Islam Liberal.
Fatwa MUI, seperti ditulis Ainul, bukanlah keputusan yang gegabah. Tetapi merupakan produk kajian yang melibatkan tinjauan dari berbagai sudut pandang. Melibatkan para ahli dan pakar. Mekanisme penetapannya memiliki prosedur baku yang bisa disebut Standard operating procedure (SOP) yang mencakup metode istinbath al-ahkam (penggalian hukum), mekanisme rapat, format keputusan, serta pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Bahkan, MUI juga mendatangkan ahli, baik dari intern MUI maupun para pakar independen. Jadi, tidak ada sama sekali unsur politis, atau kepentingan kelompok.
Ainul Yaqin -Sekretaris MUI Jawa Timur- menulis buku ini dengan bahasa yang ringan dan menghadirkan isu secara tematik. Ainul, yang juga peneliti InPAS Surabaya, menulis buku untuk mengklarifikasi berbagai isu utama terkait fenomena liberalisasi, gagasan, strategi serta lontaran opininya, serta isu-isu yang berkaitan dengan ke-MUI-an.
Secara sistematis penulis memulai klarifikasi dari isu yang paling mendasar. Kerancuan dan asal-usul Islam Liberal diurai secara singkat dan bernas. Kata Islam dan Liberal tidak bisa disandingkan menjadi satu frasa kata. Sebab pengertian itu saling bertolak belakang. Islam berarti ketundukan dan keterkaitan terhadap apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berisi perangkat norma yang wajib ditaati oleh seorang Muslim. Sedangkan kata Liberal bermakna kebebasan tanpa adanya batasan. Maka ketika disifatkan kepada Islam, pengertiannya menjadi rancu.
Ciri khas kaum liberal yang bertentangan dengan Islam adalah ideologi relativisme, skeptisisme dan agnostisisme.  Relativisme adalah keyakinan yang menganggap semua kebenaran adalah relatif dan subyektif. Tidak ada kebenaran mutlak. Skeptisisme adalah pandangan yang meragukan terhadap kebenaran. Setiap kebenaran agama, diragukan kevalidanya. Dan agnostisisme mengingkari adanya kebenaran. Ideologi yang terakhir ini, sangat radikal karena menggiring kepada ateisme. Sebab kebenaran Tuhan juga diingkari.
Ketiga ideologi ini menjadi metodologi memahami agama. Ilmu tafsir, hadits, fikih, akidah dan lain-lain dianalisis dengan tiga metodologi ini.Produk dari metodologi ini di antaranya yang dikritik oleh buku ini adalah paham pluralisme agama, inklusifisme, dan hermenutika.
Penyimpangan Anak Muda NU
Penyimpangan oknum anak muda NU yang liberal dikupas dengan lugas. Sebagai orang yang pernah nyantri di pesantren NU di Jombang, Ainul berkepentingan mengklarifikasi fenomena kader-kader NU yang hanyut dalam liberalisasi.
Di internal NU sendiri, pada muktamar NU di Boyolali, diusulkan agar kepengurusan NU bersama organisasi-organisasi di bawahnya dibebaskan dari pengaruh orang-orang yang berhaluan liberal. Walaupun penolakan ini pada praktiknya kurang efektif untuk mencegah masuknya orang-orang liberal dalam struktur kepengurusan NU.
Aktivis Liberal NU di antaranya melakukan pembelokan makna tawassuth, tawazzun dan tasamuh. Makna idiom-idiom ini digeser sebagai sikap netral dalam arti menolak terhadap upaya formalisasi syari’at Islam secara konstitusional. Formalisasi syari’at dianggap tidak netral atau ekstrim ke kanan (hal. 96).
Padahal sesungguhnya idiom itu merupakan konsep untuk mensifati teologi Asy’ariyah yang dianut NU yang merupakan konsep tengah-tengah antara rasionalisme qadariyah dan antropomorfisme jabariyah. Jadi, idiom itu digunakan dalam ilmu Kalam, untuk menjelaskan posisi Ahlus Sunnah. Tidak ada kaitannya dengan sikap netral menolak formalisasi syari’at Islam. Penggeseran makna ini dapat disebut penodaan konsepsi ajaran NU.
NU sendiri, dalam sejarah kelahirannya justru merupakan organisasi yang concern pada perjuangan penegakan syari’at Islam, baik secara substansial maupun secara formal (hal. 99). Keputusan bahtsul masail pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin pada 9 Juni 1936 M, keterlibatan  KH. Wachid Hasyim dalam perumusan Piagam Jakarta dan pernyataan-pernyataan dukungan tokoh NU seperti Saifuddin Zuhri terhadap Piagam Jakarta menunjukkan bahwa NU mendukung formalisasi Undang-undang Islam ke dalam Undang-undang formal Negara. Adapun pernyataan-pernyataan aktivis Liberal hanyalah akal-akalan yang harus disikapi dengan kritis, bukan taken for garanted.(Desastian/Kholili Hasib).
(via : nahimunkar.com)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by AsciK Drumming (Muhammad Saref Ascik)