Photo © Hesham Alhumaid
Beberapa hari yang lalu selepas sholat Ashar di sebuah Masjid tempat saya tinggal ada seorang mahasiswa yang mengajak saya untuk berdiskusi. Di awal pembicaraan kami tidak ada yang aneh sampai pada sebuah pembahasan terkait kewajiban seorang muslimah untuk menutup aurat atau tentang jilbab. Mahasiswa tersebut mengatakan bahwa jilbab itu hanyalah sebagai perlindungan atau meningkatkan prestige kaum perempuan, maka dengan demikian dapatlah dianggap bahwa jilbab merupakan sesuatu yang lebih bernuansa budaya daripada bersifat religi. Ia meyakinkan bahwa jilbab sudah tidak relevan lagi pada masa kekinian. Saya mencoba menyampaikan dalil-dalil terkait kewajiban untuk berhijab. Namun berbagai argumen dan beribu alasan disampaikan mahasiswa tadi untuk membenarkan pendapatnya. Cerita saya akhiri sampai disini. Mungkin yang disampaikan mahasiswa tadi adalah benar dengan adanya bukti dan argumen yang dibuat-buat, namun apakah itu kebenaran atau hanya pembenaran?
Perdebatan terjadi karena perbedaan sudut pandang atau tidak bertemunya keinginan dengan kenyataan. Orang yang terlibat dalam perbedaan pandangan sampai tahap perdebatan akan menggiring orang lain agar setuju dengan gagasan yang dimilikinya. Oleh karena itu ia telah mempersiapkan berbagai argumen dan dalil untuk mendukung gagasannya. Ia juga telah siap dengan beribu alasan yang dapat mematahkan argumen lawannya. Kebenaran, itulah hasil akhir yang diinginkan dari adanya perdebatan. Sebuah perdebatan sering tidak menemukan titik temu karena pihak-pihak yang terlibat dalam perdebatan merasa kebenaran merekalah yang paling benar. Hal ini sangat mungkin terjadi jika kebenaran yang mereka perdebatkan itu adalah kebenaran menurut manusia. Kebenaran menurut manusia bersumber dari nafsu yang menguasai pikiran.
Orang yang didalam dirinya dipenuhi dengan nafsu yang mendorong kepada kebaikan dan mengarahkan kepada kemuliaan inilah yang disebut sebagai kebenaran yang hakiki. Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an Surat Al Fajr ayat 27-30, “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka Masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku”. Kebenaran yang dapat melahirkan ketenangan, menyebabkan rasa aman dan menimbulkan kedamaian. Kebenaran ini adalah kebenaran yang selalu mendamaikan karena kebenaran ini selalu bermuara pada bagaimana mengingat Allah SWT dan selalu berujung untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kebenaran inilah kebenaran hakiki. Kebenaran yang sesungguhnya pasti sesuai dengan fitrah manusia. Kebenaran hakiki pasti bermanfaat bagi manusia dan sesuai dengan kebutuhan manusia walaupun kadang manusia tidak mengetahuinya. Kebenaran ini bersifat mutlak dan dapat diterima oleh semua orang. Sehingga kalau bisa disimpulkan kebenaran hakiki adalah segala sesuatu yang telah Allah SWT kehendaki yang sesuai dengan Al-Qur’an dan semua hal yang telah Rasul sampaikan yang selalu mendorong kepada kebaikan dan meningkatkan kemuliaan di hadapan Allah SWT.
Sedangkan orang yang hatinya telah tenggelam kedalam nafsu yang mendorong kepada keburukan maka kebenaran yang mereka sampaikan adalah kebenaran yang palsu. Kebenaran yang dicari-cari untuk membungkus kemaksiatan dan kejahatan yang sesungguhnya. Inilah kebenaran semu, kebenaran yang bisa diperdebatkan, kebenaran yang dapat digugat dan kebenaran yang harus dipermasalahkan. Kebenaran ini adalah kebenaran yang menipu, yang menampakkan kejahatan sebagai kebaikan, dan memutarbalikkan kebaikan menjadi kemaksiatan. Sebagaimana di sebutkan didalam Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 83 yang artinya “Ya’qub berkata : “Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan yang buruk (Musawwilah) itu. Kebenaran ini bukanlah kebenaran namun lebih tepat disebut sebagai pembernaran. Pembenaran ini muncul karena tujuan-tujuan tertentu dan keinginan-keinginan tertentu yang jauh dari kebenaran yang hakiki. Inilah yang saat ini marak terjadi. Na’udzubillahi min dzalik.
Bisa ditarik kesimpulan bahwa kebenaran hanya berasal dari Allah SWT. Kebenaran yang hakiki adalah kebenaran yang indah dan kebenaran yang mendamaikan hati. Kebenaran yang bukan berasal dari Sang Kholik dapat dipastikan bahwa itu adalah kebenaran yang palsu dan menyesatkan. Bukan kebenaran namun pembenaran, dan orang-orang yang mencari pembenaran dengan mengotak atik agama, memutarbalikkan dalil adalah bentuk dari kemaksiatan tingkat tinggi. Semoga kita dihindarkan dari mencari-cari pembenaran dan semoga Allah menunjukkan jalan kebenaran kepada kita. InsyaAllah.
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah : 8)
Oleh: Ibnu Setya
0 komentar:
Post a Comment